Pendekatan pembangunan dan pengembangan kepariwisataan berbasis komunitas (community-based tourism – CBT) sering dipandang sebagai alat dalam pengentasan kemiskinan terutama di negara-negara berkembang. Terdapat 5 kriteria yang dikembangkan oleh para ahli sebagai tolok ukur kesuksesan pembangunan kepariwisataan:

  • Manfaat yang diperoleh dari CBT harus terdistribusikan secara merata ke seluruh masyarakat di destinasi
  • Manajemen kepariwisataan yang baik dan dan berhati-hati.
  • CBT harus memiliki kemitraan yang kuat dan dukungan baik dari dalam dan luar komunitas
  • Keunikan daya tarik harus dipertimbangkan untuk mempertahankan keberlanjutan destinasi
  • Pelestarian lingkungan tidak boleh diabaikan.

Namun dalam pendekatan CBT ini seolah-olah menempatkan masyarakat sebagai objek pengembangan kepariwisataan bukan sebaliknya. Pendekatan seperti menempatkan masyarakat sebagai kendaraan dalam intrik dalam berbagai rencana pengembangan kepariwisataan di Indonesia. Dalam jangka pendek pendekatan ini bisa berhasil namun dalam jangka panjang keberlanjutan CBT masih perlu dipertanyakan.

Bali merupakan sebuah contoh bagaimana komunitas lokal dalam skala yang besar mendapatkan manfaat dari kepariwisataan. Komunitas lokal Bali kemudian berangsur-angsur secara kolektif menyadari pariwisata merupakan sumber utama perekonomian di pulau tersebut. Setelah tahun 1966 Pariwisata di Bali menjadi solusi terhadap masalah ketenagakerjaan dan pendapatan masyarakat (Pringle, 2004). Sejak saat itu pariwisata Bali terus berkembang menjadi sumber pendapatan asli daerah terbesar kedua setelah pertanian. Perkembangan kepariwisataan berdampak besar pula pada komunitas masyarakat Bali, jika pada masa pemerintahan kolonial Belanda seperlima masyarakat Bali buta huruf, maka pada tahun 1990an sekitar 90% anak usia sekolah telah mengenyam pendidikan dasar formal (Pringle, 2004).

Sekalipun pariwisata di Bali mengalami “booming”, sampai dengan tahun 2000an ternyata tidak semua masyarakat di Bali menikmati dampak ekonomi dari pariwisata di Bali. Pengembangan kepariwistaan yang cenderung terkonsentrasi di bagian selatan Pulau Bali menyebabkan masyarakat di bagian utara Pulau Bali hanya sedikit yang menerima manfaat dari “booming” pariwisata Bali. Hingar bingar pariwisata Bali juga menarik investor serta kaum pencari kerja dari luar Bali. Berbagai kebijakan di bidang kepariwisataan tidak saja berhasil mengumpulkan uang tetapi juga dampak perubahan sosial di masyarakat terutama akibat penetrasi pekerja dari luar Bali di dalam komunitas masyarakat lokal, sehingga dalam beberapa kesempatan terjadi gesekan antara masyarakat lokal dengan kaum pendatang. Peristiwa bom Bali pada Oktober 2002 semakin menegaskan ketergantungan masyarakat lokal Bali pada sektor kepariwisataan. Secara kolektif masyarakat Bali menggambarkan diri mereka sebagai masyarakat pariwisata (tourism community). Kesadaran secara kolektif ini menyebabkan masyarakat Bali sangat unik dibandingkan dengan masyarakat di destinasi pariwisata lainnya di Indonesia. Masyarakat Bali mampu mengintegrasikan berbagai aspek kehidupan sosial, budaya dan ekonomi dengan kepariwisataan hasilnya bisa dilihat bahwa masyarakat Bali sangat bergantung pada pariwisata (Mason, 2003).

Selain Bali, belum ada tempat lain di Indonesia yang masyarakat lokalnya memiliki kolektifitas yang kuat dalam memanfaatkan kepariwisataan sebagai roda perekonomian. Pada umumnya destinasi di Indonesia daya tarik berbasis komunitas dimulai pada lingkungan yang sangat kecil mulai dari keluarga atau klan dan bisa juga komunitas kecil di dalam sebuah lokasi yang memiliki suatu keunikan tertentu kemudian menarik wisatawan untuk datang. Sebut saja Kampung Naga di Garut, Situ Cangkuang atau kompleks makam-makam keluarga di Toraja. Namun kantong-kantong wisata seperti ini seperti kebanyakan daya tarik wisata berbasis komunitas di Indonesia tidak didukung oleh basis ekonomi yang masyarakat yang cukup kuat untuk tidak semata-mata bergantung pada uang yang dikeluarkan wisatawan, sehingga dalam jangka panjang komunitas masyarakat lokal dapat mengembangkan perekonomian yang berkelanjutan dengan memanfaatkan kepariwisataan sebagai investasi awal. Kawasan-kawasan perdesaan wisata di Toraja merupakan kawasan yang mendapatkan manfaat dari kepariwisataan yang sangat signifikan seperti jaringan jalan dan telekomunikasi (Adams, 2006). Namun dalam jangka panjang ternyata terjadi penurunan kunjungan wisatawan yang sangat signifikan ke Toraja sampai dengan tahun 2013 sekarang. Banyak ahli kepariwisataan berspekulasi tentang penyebab menurunnya jumlah kunjungan wisatawan ke Toraja, tetapi satu hal yang jelas tidak terlalu berdampak pada perekonomian masyarakat di Toraja, karena angkatan kerja di Toraja banyak yang melakukan migrasi ke Makassar untuk mencari kerja di sana setelah terjadi penurunan wisatawan ke Toraja (Adams, 2006). Berbeda dengan Bali yang terpukul cukup telak setelah peristiwa bom Bali pada tahun 2002. Apa yang terjadi di Bali menggambarkan kolektivitas masyarakat Bali yang tergantung secara ekonomi pada pariwisata. Masyarakat Bali secara bertahap telah membentuk apa yang disebut sebagai masyarakat wisata (tourism community).

Menciptakan sebuah masyarakat wisata, Rocharungsat (2008) menyebutkan hal yang sangat mendasar perlu dimiliki oleh komunitas adalah pemahaman sumber daya utama apa yang dapat ditawarkan oleh komunitas lokal terhadap wisatawan dan hal kedua yang penting adalah seberapa besar keterlibatan komunitas lokal dalam “industri” kepariwisataan. Kebanyakan destinasi wisata berbasis komunitas di Indonesia gagal dalam menawarkan sumber daya daya tarik wisata (tourist attraction resources), komunitas justru menjadi objek daya tarik wisata atau menjadi daya tarik wisata itu sendiri, dalam hal ini menjadi tidak jelas siapa mendapatkan manfaat (benefit) dari kepariwisataan. Seperti contoh di Kampung Naga Garut, ternyata yang mendapatkan manfaat dari hiruk pikuk kepariwisataan adalah agen perjalanan atau tour operator, demikian pula yang terjadi di Toraja. Masyarakat lokal sering gagal dalam memahami pengelolaan secara ekonomi komponen kepariwisataan (aksesibilitas, fasilitas/amenitas, dan aktivitas) sehingga komunitas lokal lebih memilih atau terpaksa menjadi “objek wisata” ketimbang mengelola berbagai komponen kepariwisataan lainnya sebagai sumber daya perekonomian. Dalam jangka panjang hal ini dapat menyebabkan ketergantungan komunitas lokal kepada wisatawan yang datang ke destinasi seperti yang terjadi di Bali sehingga ketika terjadi penurunan jumlah kunjungan wisatawan komunitas lokallah yang terpukul secara ekonomi.