Selama ini masih banyak kalangan yang belum melihat pariwisata sebagai sebuah cabang keilmuan. Namun kemudian dalam implementasi bidang pekerjaan atau industri terkait ternyata kepariwisataan lebih dari sekedar “keilmuan” tetapi juga sebuah “seni” dalam memahami fenomena tentang perilaku manusia yang melakukan perjalanan dan manusia yang menyediakan produk dan jasa yang memungkinkan perjalanan tersebut terjadi. Berbeda dengan perjalanan dari suatu tempat ke tempat lain di masa lampau dimana perjalanan merupakan sebuah migrasi bagi manusia untuk bertahan hidup atau mencari tempat yang menyediakan sumber daya, perjalanan manusia di masa kini adalah untuk menikmati kehidupan baru atau dengan kata lain perjalanan dilakukan untuk bersenang-senang.

DSCN0314
Sunset di Bali

Kepariwisataan muncul dalam skala Industri di Bali. Dampaknya terlihat ketika terjadi peristiwa bom Bali yang melumpuhkan perekonomian di Pulau Dewata tersebut

Dalam lingkungan praktisi kepariwisataan selama ini, terdapat “gap” yang cukup besar dalam melihat pariwisata sebagai sebuah aktivitas. Di kalangan pelaku pariwisata, terutama di Indonesia bisnis yang muncul dari aktivitas kepariwisataan lebih banyak muncul secara otodidak, trial and error, atau secara tidak sengaja karena sekonyong-konyong mendapat kunjungan wisatawan. Bisnis yang kemudian muncul menjadi “booming” dalam waktu singkat namun tidak dapat bertahan dalam jangka panjang dan layu sebelum berkembang menjadi industri kepariwisataan. Bandingkan dengan Disney yang berkembang menjadi industri dan dijual sebagai “produk pariwisata” yang mendunia. Indonesia yang diklaim sebagai negara bahari dengan lebih 17 ribu pulau ternyata tidak dapat menandingi gugusan pulau di kepulauan Karibia yang menjadi magnet berbagai industri raksasa kapal pesiar. Selama ini pariwisata di Indonesia dianggap sebagai sebuah fenomena ekonomi sesaat semata atau semacam jalan pintas meningkatkan pendapatan (devisa) secara instan. Namun belajar dari para raksasa pariwisata di dunia proses pencapaiannya memerlukan proses panjang dan perencanaan yang detil secara komprehensif, dan hal ini sesuatu yang jarang di Indonesia. Dengan mendudukan pariwisata sebagai sebuah ilmu, kesenjangan Indonesia dalam menjadi raksasa pariwisata tidak lagi perlu dicapai melalui proses trial and error sebagaimana yang sudah dilakukan para pionir pariwisata dunia puluhan tahun yang lalu.

Dengan mempelajari pariwisata sebagai sebuah disiplin atau keilmuan khusus, success story dari para pelaku pariwisata bisa menjadi pelajaran yang baik bagi para calon dan pelaku pariwisata dalam mengembangkan pariwisata sebagai sebuah industri yang mendunia secara lebih komperhensif dan terencana. Ke depan keahlian/kompetensi di bidang kepariwisataan sebaiknya diarahkan pada perumusan kompetensi (core competency) secara spesifik yang dimiliki oleh ahli kepariwisataan yang tidak dimiliki oleh disiplin ilmu lain.