Jika Anda mendengar kata Toraja yang muncul di benak Anda yang mungkin muncul pertama kali  adalah “kuburan” atau tongkonan (arsitektur khas Toraja). Tapi tahukah Anda bahwa Toraja tidak hanya sekedar tentang kuburan dan tongkonan? Terletak di kawasan dataran tinggi, Toraja tentunya memiliki iklim yang sangat bersahabat dengan wisatawan yang hobi melakukan aktivitas di luar ruangan. Toraja saat ini terbagi ke dalam 2 kabupaten yakni Tana Toraja dengan ibukota Makale dan Toraja Utara dengan ibukota Rantepao.

CIMG4634
Toraja: “Land of Heavenly Kings”

Aktivitas kepariwisataan di Toraja mengalami fluktuasi seiring dinamika kondisi politik, sosial, dan keamanan secara nasional di Indonesia. Toraja merupakan satu ikon pariwisata Indonesia yang juga sudah dikenal di mancanegara. Dalam perkembangannya destinasi ini mengalami stagnasi bahkan dapat dikategorisasikan dalam kelompok destinasi yang “declined” atau mengalami penurunan perkembangan, setelah sempat menikmati masa-masa “kejayaannya” pada awal dekade 2000-an dan sebelumnya.

Antisipasi terhadap perubahan ini perlu dilakukan terutama dalam pengembangan sektor kepariwisataan untuk meningkatkan perekonomian di kawasan ini melalui pengembangan industri dan jasa komunitas masyarakat lokal. Sebagai kawasan yang terkenal sebagai penghasil padi dan kopi, alternatif pengembangan sektor kepariwisataan yang bisa dilakukan adalah melaui wisata agro.  Tahukah Anda bahwa sebenarnya Toraja menjadi satu dari banyak daerah penghasil biji kopi terbaik di dunia. Namun sayangnya pada awal-awal pengembangan kepariwisataan Toraja telanjur diidentikan dengan “kuburan”. Tidak salah memang menjadikan seremoni atau upacara penguburan sebagai daya tarik wisata berbasis budaya di Toraja, bahkan ritual membuat berjalan jenazah orang yang sudah meninggal dapat menarik banyak wisatawan di era tahun 80an, namun sepertinya tidak etis mengharapkan selalu ada “orang yang meninggal” untuk menjadikan Toraja menarik untuk dikunjungi wisatawan.  Masih banyak alternatif pengembangan daya tarik wisata selain yang berhubungan dunia kematian. Kopi, ya kopi Toraja yang oleh masyarakat setempat dikenal dengan istilah “kalosi” merupakan produk terbaik dari bumi Nusantara hingga waralaba sekelas Starbucks pun menggunakan biji kopi dari kawasan ini. Namun satu hal yang disayangkan biji kopi yang dihasilkan oleh Tana Toraja merupakan hasil investasi perusahaan asing dan sebaliknya masyarakat lokal kurang mendapatkan manfaat dari kopi Toraja yang mendunia.

CIMG4556
Areal perkebunan kopi di Toraja

Sudah sepantasnya para pemangku kepentingan kepariwisataan di daerah memberdayakan potensi ekonomi masyarakat dengan memanfaatkan hilir mudiknya wisatawan di Toraja melalui usaha-usaha masyarakat dalam mengelola sumber daya alam dan budaya yang dimiliki oleh Tana Toraja selain menjual kuburan, satu di antaranya dengan kopi. Jika kita mengingat Bandung, siapa yang menyangka di tahun 90an bahwa Bandung akan menjadi satu tujuan wisata kuliner yang terkenal saat ini. Siapa yang menyangka ketika krisis ekonomi di tahun 1998 menjadikan masyarakat Bandung menjadi kreatif dengan mengedapankan kuliner sebagai alternatif mata pencarian ketika ekonomi Indonesia pada masa itu lumpuh sehingga menjadi Bandung yang terkenal dengan kulinernya saat ini.

Toraja memang bukan Bandung tetapi sudah saatnya masyarakat bersama pemerintah setempat menjadi lebih kreatif dalam menggali lebih banyak potensi ekonomi di Toraja yang mempunyai nilai jual lebih dari sekedar biji kopi yang tidak mempunyai nilai tambah tanpa embel-embel waralaba asing toh yang menikmati bukan masyarakat lokal. Saya membayangkan suatu saat dari Tana Toraja akan muncul sebuah waralaba yang mendunia yang memanfaatkan produk lokal, diusahakan oleh masyarakat lokal dan boleh dinikmati oleh siapa saja. Suatu hari nanti wisatawan yang datang ke Toraja mungkin akan berkata:”Hey man, this is Kalosi!”, semoga.