Seiring dengan perkembangan zaman, nilai-nilai kebudayaan pun mengalami perubahan. Hal ini dapat dilihat dari manifestasi perilaku masyarakat dalam berbagai hal dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dengan arsitektur rumah atau tempat tinggal. Wangsadinata dan Djajasudarma (1995) menyebutkan perkembangan arsitektur merupakan manifestasi dari keinginan (hasrat) manusia ke arah yang lebih baik. Mereka menyebutkan arsitektur merupakan sebuah produk hasil adaptasi atau respon umat manusia terhadap perkembangan budaya, ekonomi, lingkungan, dan gaya arsitektur.

CIMG4796 - Papa Batu Tumakke
Rumah tradisional Toraja beratapkan batu

Hal ini dapat dilihat dengan munculnya desain arsitektur modern pada rumah-rumah tinggal tidak saja pada kawasan perkotaan tetapi juga pada daerah-daerah perdesaan. Sebagaimana yang disebutkan bahwa arsitektur merupakan sebuah proses yang kompleks dari perkembangan umat manusia, seiring dengan berubahnya berbagai faktor seperti tingkat pendidikan, ekonomi, lingkungan alam maka gaya serta penampilan arsitektur menjadi simbol meningkatnya status seseorang dari berbagai hal. Simbol-simbol yang menandakan terjadinya perubahan-perubahan nilai-nilai dalam masyarakat ini dimanifestasikan dalam desain rumah tinggal yang khas serta unik yang membedakan dengan desain yang ada di sekitarnya. Selain itu perubahan masyarakat Indonesia dari masyarakat agraris ke dalam komunitas industrial turut menyumbang perubahan gaya hidup masyarakat yang diwujudkan dalam berbagai hal termasuk di dalamnya arsitektur rumah tinggal.

Dalam contoh kasus masyarakat Indonesia, perubahan nilai budaya juga memberikan dampak dalam apresiasi terhadap nilai-nilai  tradisional dalam arsitektur rumah tinggal dalam masyarakat beberapa daerah di Indonesia seperti contoh bagaimana kultur dan arsitektur saling mempengaruhi pada masyarakat Ngadha di Nusa Tenggara Timur (NTT). Pada masyarakat Ngadha, desain rumah dibangun berdasarkan struktur sosial kaum wanita. “Houses provides a social structural dominance of women to complement the official ideology of male dominance” (Waterson, 1990). Rumah menjadi sentral dalam masyarakat di Ngadha. Seluruh masyarakat di Ngadha memiliki asosiasi dengan sebuah rumah yang mempunyai nama. Melalui simbol-simbol, ritual dan kosmologi setempat rumah dalam masyarakat Ngadha dianggap sebagai “hidup” (Waterson, 1990). Rumah dalam masyarakat Ngadha disebut dengan Sa’o untuk menunjuk keseluruhan rumah tradisional dan bagian dari rumah yang disakralkan. Pada bagian dalam rumah terdapat ruang yang disakralkan yang diidentikan feminim (Cole, 2008). Ketika perkembangan zaman berjalan dan rumah bata dibangun bagian yang sakral ini dijaga pada bagian belakang “rumah modern”.

Rumah tradisional Ngadha

Pada tahun 1996 pariwisata mulai berkembang di NTT, keadaan ini memberikan dampak yang cukup berarti bagi kehidupan masyarakat di Ngadha baik secara sosial maupun ekonomi. Muncul kritik ketika rumah-rumah adat dikomersialisasikan (dijual). Menurut kaum wanita, menjual sesuatu kepada orang luar menghilangkan nilai sakral dan status “rumah” (Cole, 2008). Cole menyebutkan terdapat 3 kriteria yang menjadi identitas masyarakat adat Ngadha Nusa Tenggara Timur yakni: rumah, pakaian, bhaga (miniatur rumah), ngadhu, batu, dan reba (upacara adat menyambut panen). Hal-hal ini banyak terpengaruhi dengan adanya aktivitas kepariwisataan yang menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan dalam kultur masyarakat Ngadha. Satu contohnya adalah telah diperbolehkannya wisatawan memasuki bagian sakral dari rumah tradisional yang dulunya terlarang meski dalam jumlah yang sangat terbatas dan persyaratan tertentu (Cole, 2008).

Arsitektur rumah tradisional dengan otentitas dan karakter tersebut seharusnya seharusnya mempunyai nilai jual yang tinggi. Beberapa wilayah di Indonesia banyak dipenuhi  dengan latar belakang sejarah budaya dan kekayaan arsitektur tentunya mempunyai nilai otentitas sejarah yang hanya bisa ditemui di tempat asalnya. Nilai otentitas sejarah dan budaya yang terkandung di dalam masyarakat tradisional tertentu dapat juga dikatakan hampir tidak mungkin diimitasi daerah lainnya di Indonesia yang mempunyai basis kebudayaan tersendiri. Arsitektur sebagai daya tarik juga seharusnya mempunyai nilai otentitas yang mampu menarik wisatawan sebagai bagian dari pencarian  akan pengalaman-pengalaman. Sementara sebagaimana masyarakat lokal mempunyai peran dalam menciptakan pengalaman wisatawan, tentunya budaya masyarakat lokal juga mempunyai peran yang sangat signifikan dalam membentuk otentitas (McCannell, 1988). Hal ini tentunya dapat membantu pemberdayaan masyarakat lokal dalam memelihara dan melesatarikan kebudayaan yang dimiliki melalui perwujudan arsitektur rumah tradisional.