Pariwisata, atau ‘tourism’ dalam Bahasa Inggris, dapat dilihat sebagai fenomena perjalanan secara umum yang dilakukan oleh manusia. Kata ‘pariwisata’ berasal dari Bahasa Sanskerta – terdiri dari dua kata, yaitu ‘pari’ yang berarti ‘seluruh’, ‘semua’, dan ‘penuh’, dan ‘wisata’ yang berarti ‘perjalanan’. Sedangkan ‘tourism’ berasal dari Bahasa Latin, ‘tornare’, yang berarti lingkaran, atau pergerakan mengelilingi sebuah inti atau sumbu. Dengan begitu, pariwisata atau tourism mengisyaratkan pergerakan yang dilakukan dari satu tempat ke tempat lainnya secara penuh atau lengkap, atau dari tempat asal pelaku perjalanan ke tempat tujuan dan kembali lagi ke tempat asalnya, membentuk suatu pola melingkar.

 

Bagi mahasiswa tingkat awal Kepariwisataan, ada satu model yang menjelaskan sistem pariwisata dalam cara yang relatif mudah dipahami. Sistem tersebut dikenal sebagai Leiper’s Tourism System, atau sistem pariwisata Leiper, sesuai dengan nama penggagasnya, Neil Leiper (1979; 1990). Dalam sistem tersebut, terdapat tiga ‘wilayah’ utama, yaitu ‘wilayah asal wisatawan’ (Tourist Generating Region/TGR), ‘wilayah rute transit’ (Transit Route Region/TRR), dan ‘wilayah tujuan wisatawan’ (Tourist Destination Region/TDR). Sebagai contoh, ketika seorang mahasiswa berangkat dari rumahnya di Jakarta (TGR) untuk berlibur di Bali (TDR) dan transit di Surabaya (TRR), maka Jakarta, Bali, dan Surabaya menjadi elemen geografis utama dalam sistem tersebut. Selain ketiga elemen geografis tersebut, ada dua elemen lainnya dalam sistem pariwisata Leiper, yaitu wisatawan dan industri pariwisata. Kembali ke contoh di atas, mahasiswa asal Jakarta tersebut adalah wisatawan, sedangkan industri pariwisata mengacu pada para penyedia produk, baik barang dan jasa, yang dibutuhkan oleh wisatawan. Contoh produk industri pariwisata adalah daya tarik wisata, transportasi, akomodasi, rumah makan, cinderamata, dan lain sebagainya.

Gambar 1 Sistem Pariwisata Leiper (1979;1990)

(sumber: Zillinger, 2007)

Masih menurut Leiper, lingkungan sosial, budaya, ekonomi, teknologi, fisik, politik, dan legal juga merupakan elemen dari sistem pariwisata. Elemen-elemen ini yang membentuk dan memengaruhi ketiga elemen geografis tadi. Sebagai contoh, latar belakang sosial, budaya, dan ekonomi wisatawan akan membentuk pandangannya akan sebuah destinasi dan juga memengaruhi keputusannya untuk melakukan perjalanan ke destinasi tujuannya. Begitu juga dengan masyarakat di destinasi; persepsi mereka tentang pariwisata sedikit banyak dibentuk dan dipengaruhi oleh kondisi sosial, budaya, dan ekonomi di tempat mereka. Aspek-aspek itu hanya contoh dan bisa lebih kompleks dari contoh yang diberikan dalam artikel ini.

 

Lalu apakah beda pelaku perjalanan seperti yang disebutkan di awal artikel ini dengan wisatawan? Pertama, menurut UNWTO (2008), pelaku perjalanan memiliki cakupan yang lebih luas dari wisatawan. Dengan kata lain wisatawan adalah bagian dari pelaku perjalanan. Dalam konteks pelaku perjalanan ke dalam suatu negara (inbound travelers), ada yang disebut dengan pengunjung ke dalam suatu negara (inbound visitors), yang dibagi lagi menjadi beberapa kategori termasuk wisatawan (tourists, atau pengunjung yang menginap) dan ekskursionis (same-day excursionist, atau pengunjung yang melakukan perjalanan pulang pergi di hari yang sama tanpa menginap). Kembali ke contoh, apabila mahasiswa tersebut melakukan perjalanan ke Bali kurang dari satu hari, maka dia disebut sebagai ekskursionis. Tetapi apabila mahasiswa tersebut menginap paling sedikit satu malam di Bali, maka dia disebut wisatawan (tourist).

Gambar 2 Klasifikasi Pelaku Perjalanan ke Dalam Negeri

(sumber: UNWTO dalam PowerPoint Principles of Tourism, Leisure, and Recreation,

Destinasi Pariwisata, BINUS University)

Seorang pelaku perjalanan tidak dapat disebut sebagai wisatawan apabila tujuan perjalanannya ke tempat lain adalah untuk tinggal untuk waktu yang lama dan bekerja atau mencari nafkah di tempat tujuannya tersebut. Menurut World Tourism Organization (WTO), pariwisata (tourism) adalah aktifitas seseorang dalam melakukan perjalanan kurang dari periode waktu yang ditentukan (yaitu kurang dari satu tahun), selama tujuan utamanya adalah tidak mencari penghasilan di tempat yang dikunjunginya. Hal itu juga sesuai dengan salah satu definisi pariwisata Mathieson dan Wall (1982), yaitu perpindahan sementara orang-orang ke destinasi di luar tempat kerja dan tinggalnya.

 

Lalu tujuan apa saja hingga seorang pelaku perjalanan bisa diklasifikasikan sebagai wisatawan? Berikut adalah kategori yang dibuat oleh UNWTO (2008); bisnis dan kegiatan profesional; berlibur, bersantai, dan berrekreasi; mengunjungi teman dan saudara; pendidikan dan pelatihan; kesehatan dan pelayanan medis; belanja; transit, dan lain-lain. Jadi, misalkan mahasiswa tersebut beragkat ke Bali sebagai tenaga lepas (freelancer) untuk membantu sebuah perusahaan melakukan pameran dagang dalam sebuah event, dia masih masuk ke dalam kategori wisatawan (tourist). Hal ini dikarenakan mahasiswa itu hanya tinggal untuk sementara, misal satu minggu, dan akan kembali ke Jakarta. Walaupun dia menerima honor dari jasanya membantu sebuah perusahaan dalam suatu pameran, hal tersebut berbeda dengan seseorang yang berniat menetap di Bali dan mencari nafkah di sana dalam waktu yang lebih lama dari satu tahun. Hal yang sama juga berlaku untuk, sebagai contoh, mahasiswa atau pelajar yang tinggal dan studi di daerah lain selain wilayah rumahnya. Hal ini karena mahasiswa tersebut, walaupun tinggal lama di wilayah lain, tidak bertujuan mencari nafkah. Contoh-contoh ini juga diberikan untuk memberikan kesan bahwa pariwisata tidak selalu identik dengan tujuan bersenang-senang, seperti yang mungkin dianggap oleh kebanyakan orang selama ini.

 

Sebagai suatu sistem, elemen-elemen yang ada di dalam sistem kepariwisataan Leiper memiliki hubungan dan ketergantungan satu sama lain. Apabila salah satu elemen tidak ada atau tidak berfungsi, maka akan mengurangi efektifitas sistem kepariwisataan itu sendiri.